SEMANGAT RESOLUSI JIHAD DALAM KONTEKS KETAHANAN PANGAN
Tanggal 22 Oktober memiliki makna mendalam bagi bangsa Indonesia. Sejak ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional, tanggal ini menjadi momentum untuk mengenang kembali seruan Resolusi Jihad oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Seruan itu menjadi dasar spiritual dan moral perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan, menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah bagian dari ibadah dan jihad fi sabilillah.
Delapan puluh tahun berselang, semangat jihad itu kini menemukan wujud baru. Para santri di berbagai pelosok Nusantara bergerak bukan lagi dengan bambu runcing, melainkan dengan inovasi, ilmu pengetahuan, dan kerja nyata dalam bidang ketahanan pangan.
Salah satu gerakan yang mencuri perhatian datang dari Teluk Pulau Malang, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, di mana ratusan santri dan masyarakat pesisir melakukan Jihad Ketahanan Pangan melalui budidaya rumput laut.
GERAKAN SANTRI DALAM JIHAD KETAHANAN PANGAN
Sejak pagi hari, Rabu (22/10/2025), kawasan pesisir Pulau Malang tampak ramai. Para santri yang tergabung dalam Bandar Laut Dunia Grup (BALAD Grup) dan anak perusahaannya, Bandar Rumput Laut Nusantara Grup (BRULANTARA Grup), menanam rumput laut di area seluas tujuh hektar. Kegiatan ini merupakan tahap awal dari rencana besar pengembangan budidaya rumput laut hingga mencapai 50.000 hektar, yang jika terealisasi akan menjadi proyek budidaya rumput laut terbesar di dunia.
Penanaman perdana ini dilakukan bertepatan dengan Hari Santri Nasional, menjadi simbol jihad modern: perjuangan untuk membangun kedaulatan pangan bangsa.
HRM. Khalilur R. Abdullah Sahlawiy, pendiri BALAD Grup, mengatakan bahwa perjuangan hari ini bukan lagi mengangkat senjata, tetapi mengangkat semangat untuk mengelola sumber daya laut Indonesia.
“Kalau dulu santri berjihad dengan bambu runcing melawan penjajah, sekarang santri berjihad melawan kemiskinan dan ketergantungan pangan impor,” ujarnya kepada Saromben.com.
“Melalui laut, kami menanam harapan untuk Indonesia yang berdaulat secara pangan dan ekonomi.”
DI MANA DAN SIAPA SAJA YANG TERLIBAT?
Kegiatan ini berlangsung di Teluk Pulau Malang, Kecamatan Kangayan, Kabupaten Sumenep, kawasan dengan potensi laut yang sangat luas dan kualitas air ideal untuk pengembangan Eucheuma cottonii, jenis rumput laut unggulan Indonesia.
Selain santri, kegiatan ini juga melibatkan masyarakat nelayan, pelaku UMKM pesisir, dan mahasiswa dari sejumlah pesantren maritim di Jawa Timur. Kolaborasi ini memperlihatkan sinergi antara spiritualitas dan sains, antara dunia pesantren dan dunia industri.
Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui laman kkp.go.id, Kabupaten Sumenep memiliki potensi produksi rumput laut mencapai 2 juta ton basah per tahun. BRULANTARA Grup memilih lokasi ini karena faktor lingkungan lautnya yang stabil serta dukungan kuat dari masyarakat lokal.
“Kami ingin menunjukkan bahwa santri bukan hanya bisa membaca kitab, tapi juga bisa membaca potensi laut Indonesia,” kata HRM. Khalilur.
MENGAPA JIHAD KETAHANAN PANGAN ITU PENTING?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 72% wilayah Indonesia adalah laut, sedangkan daratan hanya 28%. Ironisnya, sebagian besar sumber pangan Indonesia masih berasal dari lahan darat seperti padi, jagung, dan kedelai.
Ketergantungan terhadap impor bahan pangan menjadi ancaman tersendiri bagi kedaulatan negara. Di sinilah konsep Jihad Ketahanan Pangan menjadi relevan.
Melalui rumput laut, santri Indonesia menunjukkan jalan baru: menghasilkan beras rumput laut ~ sumber pangan alternatif yang tinggi serat, rendah kalori, dan ramah lingkungan. Produk ini sedang dikembangkan BRULANTARA Grup bersama akademisi dari berbagai perguruan tinggi.
Menurut laporan FAO (Food and Agriculture Organization) melalui fao.org, permintaan global terhadap rumput laut meningkat sekitar 8% setiap tahun. Indonesia saat ini menjadi produsen rumput laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, dengan potensi besar untuk menjadi yang pertama jika industri pengolahannya ditingkatkan.
BAGAIMANA PROSESNYA?
Budidaya rumput laut dilakukan dengan metode long line, yaitu sistem tali rentang sepanjang 50–100 meter yang dibentangkan di permukaan laut. Bibit rumput laut diikat pada tali utama dengan jarak tanam sekitar 25–30 cm.
Setiap 45 hari sekali, rumput laut dapat dipanen dan dijemur hingga kering. Dalam setiap hektar lahan, para santri dapat memanen hingga 20 ton rumput laut basah.
Kegiatan ini bukan hanya sekadar penanaman, tetapi juga pelatihan teknis bagi para santri dan masyarakat pesisir. Mereka diajarkan manajemen panen, pengeringan, hingga pengemasan sesuai standar ekspor.
Sebagai langkah lanjutan, BRULANTARA Grup berencana membangun dua pabrik pengolahan beras rumput laut ~ satu di Kabupaten Sumenep dan satu lagi di Kabupaten Situbondo. Pabrik ini akan menjadi pusat riset dan produksi pangan alternatif berbasis laut pertama di Indonesia.
DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI
Gerakan santri dalam ketahanan pangan ini memberi dampak nyata bagi ekonomi pesisir.
Setiap hektar budidaya rumput laut mampu menyerap sekitar 10 tenaga kerja langsung, yang berarti proyek 50.000 hektar berpotensi menciptakan 500.000 lapangan kerja baru.
Selain meningkatkan pendapatan nelayan, kegiatan ini juga menumbuhkan kesadaran baru bahwa pesantren dapat berperan sebagai pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Model pesantren maritim seperti ini sejalan dengan program Ekonomi Biru Nasional yang dicanangkan pemerintah. BRULANTARA Grup bekerja sama dengan akademisi Universitas Trunojoyo, Universitas Ibrahimy, dan beberapa pesantren di pesisir utara Jawa Timur untuk memperkuat riset kelautan dan kewirausahaan santri.
INOVASI BERAS RUMPUT LAUT UNTUK DUNIA
Salah satu inovasi terbesar dari gerakan ini adalah pengembangan beras rumput laut.
Produk ini diklaim memiliki kandungan gizi tinggi, kaya mineral alami, dan bebas gluten. Selain itu, produksinya tidak memerlukan air tawar atau lahan pertanian darat, sehingga menjadi solusi ekologis di tengah krisis iklim.
“Kami yakin Indonesia bisa menjadi kiblat baru industri rumput laut dunia,” ujar HRM. Khalilur.
“Santri dan nelayan akan menjadi pelopor perubahan itu.”
Riset bersama LIPI, BRIN, dan beberapa universitas menunjukkan bahwa beras rumput laut memiliki indeks glikemik rendah serta kandungan serat tinggi, sangat cocok untuk penderita diabetes dan pola makan sehat.
HARAPAN DAN AJAKAN NASIONAL
Gerakan Jihad Ketahanan Pangan ini bukan proyek ekonomi semata.
Menurut HRM. Khalilur, jihad ini adalah gerakan moral dan spiritual untuk membangun bangsa dari laut. Ia mengajak seluruh pesantren, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk bergandengan tangan mengembangkan potensi laut Indonesia.
“Indonesia memiliki laut yang luas dan sumber daya luar biasa. Santri dan nelayan harus menjadi pelopor. Jihad hari ini adalah memastikan rakyat tidak kelaparan,” tegasnya.
Gerakan ini juga mendapat perhatian dari sejumlah tokoh nasional dan pemerintah daerah.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai langkah BRULANTARA Grup sejalan dengan upaya memperkuat industri perikanan budidaya dan mengurangi ketimpangan ekonomi pesisir.
Beberapa pengamat dan media keislaman nasional, termasuk NU Online (nu.or.id), dalam berbagai artikel reflektifnya, sering menyoroti pentingnya semangat Resolusi Jihad dalam membangun kemandirian ekonomi santri. Semangat itulah yang kini tampak hidup dalam gerakan santri pesisir ini ~ jihad yang tidak lagi bersenjata, melainkan berjaring dan berdaya.
KOLABORASI DENGAN PESANTREN DAN TEKNOLOGI MODERN
Selain penanaman manual, beberapa pesantren mitra mulai menerapkan teknologi drone laut dan sensor digital untuk memantau pertumbuhan rumput laut.
Baca juga: SATARA Sahabat Tanah Nusantara – Saromben.com
Langkah ini menunjukkan bahwa pesantren kini tidak lagi tertinggal dalam inovasi teknologi. Para santri dilatih untuk mengelola ekosistem laut secara berkelanjutan, sekaligus mengembangkan keterampilan digital.
Gerakan ini juga menjadi inspirasi bagi pesantren-pesantren di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku untuk memulai program serupa dengan dukungan KKP dan lembaga riset nasional.
REFLEKSI HARI SANTRI: DARI LAUT UNTUK NEGERI
Setiap tahun, Hari Santri diperingati dengan tema yang berbeda. Namun tahun ini, tema “Santri Berdaya, Santri Berbudidaya” menjadi simbol perubahan paradigma.
Santri tidak lagi dipandang hanya sebagai penjaga tradisi spiritual, tetapi juga penggerak ekonomi dan inovasi sosial.
Di Teluk Pulau Malang, para santri tidak hanya menanam bibit rumput laut, tetapi juga menanam harapan.
Mereka mengubah ombak menjadi energi perjuangan, dan laut menjadi ladang ibadah.
“Ketika santri turun ke laut, bukan untuk mencari harta, tapi untuk menjaga kehidupan,” kata HRM. Khalilur menutup pesannya.
Catatan Redaksi:
Artikel ini disusun berdasarkan langsung dengan HRM. Khalilur R. Abdullah Sahlawiy, data terbuka KKP, BPS, dan FAO. Tidak ada klaim atau kutipan langsung dari NU Online; penyebutan lembaga hanya bersifat kontekstual untuk memperkuat relevansi tema Hari Santri Nasional.
Penulis: Chemoth|https://Saromben.com/