Oleh: Azis Chemoth|Saromben.com
Dunia ini panggung absurditas terbesar: orang bodoh berdiri sebagai sutradara, menunjuk-nunjuk, memberi arahan seolah dunia akan runtuh jika tidak menurut kata-katanya. Mereka mengatur alur tanpa pengetahuan, memerintah tanpa logika, dan menertawakan setiap keraguan sebagai kelemahan. Orang pintar, meski menyadari kebodohan naskah itu, dipaksa menari seperti boneka, menelan hinaan dengan senyum pahit, sambil menahan tawa getir yang tak bisa disuarakan.
Para penonton, bila masih ada yang tersisa, hanya bisa mengelus dada, tercengang oleh tragedi kecerdasan yang dijadikan alat mainan. Mereka menyaksikan orang pintar dipaksa melayani ego bodoh, sementara yang bodoh duduk manis, bangga seolah sedang memimpin orkestra. Tidak ada yang lebih tragis daripada melihat akal sehat dijadikan bahan sandiwara murahan.
Orang bodoh tidak hanya menjadi sutradara, tapi juga pengkritik paling galak. Setiap gagasan cerdas ditertawakan, setiap logika ditolak, seolah dunia ini milik mereka sendiri. Orang pintar dipaksa tunduk, bak pelayan yang harus menyembah kekosongan, sementara ide-ide brilian dihisap untuk memperkuat ketidaktahuan mereka.
Namun kecerdasan tidak bisa dibungkam selamanya. Orang pintar yang sadar mulai merasakan absurditas ini meracuni hidupnya sendiri. Mereka perlahan menarik diri, menolak menjadi aktor bodoh, dan menulis naskahnya sendiri. Tidak untuk membalas, tapi untuk menyalakan cahaya di lorong gelap yang dibangun oleh sutradara yang sombong.
Mereka mulai berdiri, memanfaatkan bakat bukan untuk menghibur ego bodoh, tapi untuk menunjukkan jalan yang benar. Setiap langkah mandiri adalah provokasi halus bagi mereka yang dulu menertawakan kecerdasan. Ini adalah pesan yang menyayat: dunia tidak perlu sandiwara bodoh untuk terus berjalan.
Sementara itu, sutradara bodoh dan pengikutnya mulai gelisah. Ketika orang pintar berhenti tunduk, mereka kehilangan panggung, kehilangan alat hiburan, bahkan kehilangan ilusi bahwa mereka berkuasa. Dunia mulai mempertanyakan kebodohan yang dipuja, dan tawa getir mereka kini terdengar seperti gema kehampaan.
Kecerdasan yang mulai membebaskan diri ini menantang absurditas secara diam-diam tapi pasti. Orang pintar bukan lagi pesuruh, tapi pengendali naskah hidup mereka sendiri. Dan ironisnya, mereka yang dulu merasa tinggi kini mulai menyadari bahwa tawa mereka selama ini hanyalah cermin dari ketidakmampuan sendiri.
Akhirnya, pesan ini tidak bisa lagi diabaikan: kecerdasan bukan untuk melayani kebodohan. Ia adalah senjata, cahaya, dan pengingat bahwa dunia hanya akan bergerak ketika orang cerdas berhenti tunduk, dan orang bodoh mulai merasakan batas mereka. Dan hanya saat itu, teater absurd ini akan kehilangan panggungnya dan dunia, setidaknya sebentar, akan bernapas lega.