Kenyang Sendiri, Lapar Bersama: Ujian Keimanan di Meja Makan

Redaksi

Oleh : Randa Kholilur Rohim

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kita sering disibukkan oleh urusan diri sendiri mengejar target pekerjaan, membangun rumah, menumpuk tabungan, dan memanjakan selera makan. Namun, di balik dinding rumah kita, mungkin ada seseorang yang menahan lapar, bahkan mungkin tanpa kita sadari. Inilah potret kepekaan sosial yang semakin pudar, padahal Islam dengan tegas menempatkannya sebagai salah satu ukuran keimanan.

Rasulullah pernah bersabda bahwa seorang muslim belum sempurna imannya jika ia kenyang sementara tetangganya kelaparan. Pernyataan ini bukan sekadar ajakan untuk berbagi makanan, tetapi sebuah teguran keras bagi mereka yang memisahkan ibadah kepada Allah dari kepedulian kepada sesama. Sebab, iman yang sejati tidak berhenti pada shalat, puasa, dan dzikir ia harus tercermin dalam tindakan nyata yang menolong orang di sekitar.

Kita sering merasa cukup dengan amal pribadi, seolah-olah hubungan vertikal kepada Allah sudah menutup kewajiban horizontal kepada manusia. Padahal, membiarkan tetangga kelaparan adalah bentuk pengkhianatan terhadap makna ukhuwah. Bahkan, kenyang di tengah kelaparan orang terdekat adalah tanda bahwa hati kita telah mati rasa.

Masyarakat yang sehat tidak hanya diukur dari kemajuan ekonominya, tetapi dari seberapa erat warganya saling menjaga. Islam membayangkan sebuah lingkungan di mana setiap muslim peka terhadap kondisi tetangganya. Bukan hanya peka, tetapi siap turun tangan menawarkan bantuan sebelum diminta, memberikan makanan sebelum lapar itu menjadi derita.

Kita harus jujur bertanya pada diri sendiri: berapa kali kita makan enak tanpa memikirkan siapa saja yang tidak makan hari itu? Berapa kali kita menutup pintu rumah tanpa pernah bertanya kabar tetangga di sebelah? Dan berapa kali kita mengira bahwa semua orang di sekitar kita baik-baik saja, hanya karena mereka tidak mengeluh?

Baca Juga:
Tanda-Tanda Orang Bisa Terjebak Kemiskinan Seumur Hidup – dan Cara Menghindarinya

Iman yang hidup adalah iman yang menggerakkan langkah untuk mengetuk pintu tetangga, menanyakan kabar, dan menawarkan bantuan. Karena pada akhirnya, keberkahan tidak datang dari seberapa banyak makanan yang kita santap, tetapi dari seberapa banyak hati yang kita buat kenyang. Jika kita mengaku beriman, ujian pertama ada di meja makan kita sendiri apakah kita makan sendirian, atau kita pastikan ada orang lain yang ikut merasakan nikmatnya.

Editor: Romi Anasrullah