Oleh: Azis Chemoth|Saromben.com
Dalam setiap panggung kekuasaan, selalu ada dua jenis aktor yang memainkan perannya dengan gaya yang sangat berbeda. Ada yang tampil berani, bahkan cenderung frontal. Mereka berbicara lantang, mengkritik secara terbuka, dan tidak segan menunjukkan sikap meski harus menabrak arus. Tapi ada pula yang memilih jalur senyap: diam-diam, namun bermain cantik di balik layar.
Yang pertama adalah jenis yang mudah dikenali: mereka bersuara, mereka muncul di permukaan, dan kita tahu jelas di mana posisi mereka. Entah setuju atau tidak, paling tidak kita bisa menilai mereka secara terbuka. Mereka ibarat petarung di arena yang siap menanggung luka, demi mempertahankan keyakinan atau kepentingan mereka.
Yang kedua jauh lebih sulit dibaca. Mereka bukan tidak bergerak justru mereka sangat aktif. Tapi geraknya halus, dibalut senyum, dibungkus retorika damai, dan sering kali hadir lewat tangan orang lain. Mereka seperti sutradara yang tak pernah muncul di panggung, namun setiap adegan tak luput dari skenario yang mereka atur. Di hadapan publik, mereka bisa tampil bersih. Tapi di belakang layar, mereka merajut benang kekuasaan dengan sangat rapi.
Ironisnya, publik sering terkecoh. Yang bersuara keras dianggap ancaman. Yang diam-diam bergerak justru disebut “bijak” atau “visioner”. Padahal, yang satu bisa jadi hanya berani menyuarakan keresahan, sementara yang lain diam-diam menancapkan kepentingan jangka panjang.
Kita sedang hidup di era di mana bentuk perlawanan dan kekuasaan tak lagi selalu tampil dalam bentuk konfrontasi terbuka. Justru di balik diam yang penuh senyum itulah terkadang skenario besar sedang dijalankan. Politik bukan sekadar soal siapa yang bersuara, tapi siapa yang mengatur siapa berbicara, kapan, dan untuk kepentingan siapa.
Sebagai warga, kita perlu lebih peka membaca permainan ini. Jangan terjebak pada simbol. Jangan cepat terpukau oleh narasi yang manis. Terkadang, yang terlihat seperti perlawanan bisa jadi hanya sandiwara. Dan yang terlihat netral bisa jadi sedang merancang langkah paling licik.
Karena dalam dunia kekuasaan, tidak semua pemain memakai kostum. Ada yang tampil seperti gajah, menggedor dengan kekuatan. Tapi ada juga semut yang terlihat kecil namun diam-diam menggigit titik paling rapuh dari kekuasaan.