Oleh : Azis Chemoth|Saromben.com
Simpatisan PPP itu unik dan keunikan mereka bukan sesuatu yang dibuat-buat. Ia lahir dari sejarah panjang, dari simpul-simpul ideologis yang bertemu di simpang jalan antara politik dan iman, antara langgar dan kampus, antara kitab kuning dan konstitusi. Mereka bukan kumpulan massa yang dimobilisasi secara pragmatis lima tahun sekali, melainkan komunitas ideologis yang terus bergerak meski kadang tak terlihat di permukaan politik nasional.
Di satu sisi, mereka adalah pewaris semangat pesantren berjalan tenang, santun, dan penuh takzim. Tapi jangan salah sangka: di sisi lain, mereka juga bisa berubah menjadi orator kampus yang lantang, penuh data, penuh nyala semangat. Mereka bisa membuka forum dengan mengutip Shahih Bukhari, lalu menutupnya dengan referensi dari Habermas atau Frantz Fanon, tergantung lawan diskusinya. Ini bukan basa-basi ini realita gaya politik hijau yang sudah lama berdialektika dengan zaman.
Mereka mungkin tak sepopuler partai yang menjual jargon populis atau mengandalkan citra “anak muda” dalam tiap baliho. Tapi dalam diamnya, simpatisan PPP tetap hadir, bekerja dalam senyap, membangun jejaring dari musholla ke warung kopi, dari majelis taklim ke ruang-ruang diskusi intelektual. Mereka bukan hanya loyal secara politik, tapi juga setia pada narasi perjuangan meski kalah di survei, mereka tak pernah kalah di semangat.
Di tengah hiruk-pikuk politik pelangi, di mana warna-warna partai saling bertabrakan demi ruang siar dan panggung kekuasaan, warna hijau tetap teguh berdiri. Ia tak sekadar warna visual ia adalah simbol: kesederhanaan, kesetiaan, dan keyakinan. Simpatisan PPP tahu benar bahwa politik bukan sekadar soal elektabilitas, tapi juga soal marwah, tentang menjaga akhlak dalam bersikap, serta tentang tidak tergoda menjual prinsip demi kursi.
Mereka ini jenis yang bisa jadi imam salat subuh dan sekaligus penyusun strategi pemenangan pemilu. Mereka bisa bicara tentang maqasid syariah dan UU Pemilu dalam satu tarikan nafas. Mereka paham bahwa perjuangan tidak harus selalu viral, tidak harus selalu trending karena banyak kemenangan besar justru dirintis dari gerakan sunyi.
Bagi mereka, politik bukan panggung pencitraan. Ini arena jihad moral. Maka tak mengherankan jika simpatisan PPP tak pernah benar-benar punah. Dalam setiap generasi, selalu muncul kembali wajah-wajah muda yang mengambil estafet hijau itu. Kadang dari alumni pesantren, kadang dari aktivis BEM, kadang dari anak kampung yang muak pada politik gimik tapi rindu akan nilai-nilai yang utuh.
Mereka mungkin dicibir “kolot”, “jadul”, atau “kurang gaul”, tapi justru di sanalah keistimewaannya: mereka tidak ikut arus, tapi justru menjadi sungai yang tenang, menanti waktu untuk mengalir lebih deras. Politik hijau bukan tentang trend sesaat ia adalah perlawanan panjang terhadap politik yang kehilangan arah dan moral.
Jadi, jika hari ini kau melihat seorang simpatisan PPP yang tampak biasa saja mungkin sedang menyeruput kopi di pojok warung atau menjadi moderator diskusi kecil di desa jangan remehkan dia. Di balik sikap santunnya, tersimpan keteguhan ideologis yang tak mudah dibeli. Di balik senyumnya, ada sejarah panjang perjuangan yang masih menyala.
Dan satu yang pasti: mereka tak pernah mati gaya dalam memperjuangkan warna hijau, bahkan ketika panggung politik berubah menjadi sirkus penuh topeng dan trik.