Pelukan di Lingkaran Istana: Antara Kedekatan dan Kepentingan

Redaksi

Oleh: Azis Chemoth|Saromben.com

Di lingkungan kekuasaan apa yang kerap disebut “lingkaran istana” pelukan tidak selalu berarti kasih. Ia bisa menjadi simbol penerimaan, bisa pula alat untuk mengamankan kepentingan. Tidak sedikit yang merasa terhormat karena dirangkul penguasa, padahal sebenarnya sedang dibungkam secara halus.

Pelukan dalam politik bukan semata ekspresi keakraban, melainkan strategi. Siapa yang dirangkul dianggap bagian dari barisan. Siapa yang menolak, segera dicurigai, dijauhi, atau bahkan dilabeli sebagai pembangkang. Ini pola lama, tapi masih terus dipertontonkan dalam panggung kekuasaan kita hari ini.

Padahal, tidak semua yang menjaga jarak berarti tidak setia. Ada yang memilih tidak dirangkul justru karena ingin menjaga martabatnya agar tidak larut dalam permainan kompromi yang membingungkan antara loyalitas dan kepentingan pribadi. Sayangnya, sikap menjaga jarak ini sering dibaca sebagai ancaman, bukan sebagai bentuk integritas.

Di tengah situasi seperti ini, kita perlu kritis melihat relasi dalam kekuasaan. Jangan buru-buru memuji kedekatan, karena tak semua yang dekat itu jujur. Dan jangan cepat-cepat mencurigai yang menjauh, karena bisa jadi merekalah yang masih mampu berpikir jernih di tengah kabut kekuasaan.

Seharusnya, yang dirangkul tidak kehilangan daya kritisnya, dan yang memilih menjaga jarak tetap diberi ruang untuk bicara. Karena kekuasaan yang sehat tidak dibangun di atas pelukan palsu, tapi di atas penghormatan pada batas, keberanian bersuara, dan kesetaraan dalam berpikir.

Baca Juga:
Menguasai Dua Dunia, Pengusaha Kelas Kakap Duduki Jabatan Bergengsi di Politik: H. Akhmad Junaidi Jabat Sekda DPD Garda RI Jawa Timur