Opini  

Pasar Mimbaan Turun Kelas Burnik Naik Kelas Akankah Bertahan Lama?

Redaksi
Burnik
Ilustrasi

Oleh: Azis Chemoth

Situbondo tengah mengalami pergeseran lanskap sosial-ekonomi yang patut dicermati. Dua titik yang dahulu memiliki citra dan fungsi yang sangat bertolak belakang kini seperti saling bertukar peran: Burnik yang dulunya identik dengan kawasan lokalisasi kini menjelma menjadi pusat wisata kuliner malam, sementara Pasar Mimbaan, yang dulunya pusat denyut ekonomi rakyat, justru terlihat makin meredup.

Burnik kini viral di media sosial. Ramai pengunjung dari berbagai daerah datang untuk mencicipi suasana malam yang unik dan kuliner kaki lima yang menggoda lidah. UMKM tumbuh subur di atas aspal yang dulunya muram. Ini bukan sekadar perubahan fisik, melainkan perubahan paradigma. Dari tempat terpinggirkan, Burnik kini jadi simbol harapan bahwa masa lalu kelam bukanlah vonis abadi. Ketika ada ruang untuk berubah dan ada dukungan dari masyarakat, maka kebangkitan bukan mustahil.

Sebaliknya, Pasar Mimbaan justru seperti ditinggalkan oleh zaman. Los-los kosong, pedagang yang mengeluh karena sepi pembeli, hingga semakin tergerusnya daya tarik pasar tradisional oleh platform daring dan retail modern. Ironi ini menohok: yang dulunya pusat ekonomi rakyat, kini justru tenggelam dalam ketidakberdayaan.

Pertanyaannya, mengapa revitalisasi semangat dan fungsi seperti yang terjadi di Burnik tidak terjadi di Pasar Mimbaan? Apakah karena pengelolaan yang stagnan? Kurangnya inovasi? Ataukah karena absennya keberpihakan yang nyata dari pemerintah dan masyarakat terhadap pasar-pasar tradisional?

Pemerintah daerah perlu berpikir lebih strategis. Pasar tradisional tak cukup hanya dibenahi fisiknya—perlu inovasi layanan, digitalisasi, pendekatan komunitas, hingga strategi promosi yang menjangkau generasi muda. Jika tidak, pasar-pasar seperti Mimbaan akan perlahan menghilang dari memori kolektif warga.

Namun, di tengah euforia atas naik kelasnya Burnik, pertanyaan berikut juga layak diajukan: mungkinkah UMKM di Burnik akan bertahan lama? Apakah ini hanya tren sesaat yang viral di media sosial, ataukah benar-benar akan menjadi basis ekonomi baru yang kokoh dan berkelanjutan?

Baca Juga:
Jelang Ramadan, Polres Situbondo Sita Ribuan Miras

Kita patut bersyukur Burnik bisa bangkit. Tapi kita juga tak boleh menutup mata bahwa Pasar Mimbaan sedang terpuruk. Inilah wajah ganda Situbondo hari ini: antara harapan dan kehilangan. Semoga ini menjadi refleksi bersama — bahwa perubahan membutuhkan arah, keberanian, dan keberlanjutan.