Oleh: Azis Chemoth
Saromben.com | 31 Juli 2025
Dalam sistem demokrasi yang sehat, dinamika antara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah adalah hal yang wajar, bahkan diperlukan. LSM hadir sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil yang berfungsi mengawasi, mengkritisi, dan memberi masukan terhadap jalannya pemerintahan. Sementara pemerintah, sebagai pengelola kebijakan publik, sejatinya perlu ruang koreksi untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berpihak pada kepentingan rakyat.
Hubungan antara keduanya idealnya bersifat saling melengkapi. Pemerintah menjalankan amanat rakyat, dan LSM menjadi suara dari mereka yang mungkin tak terdengar di ruang formal. Ketika komunikasi berjalan dua arah, dan kritik dijawab dengan argumentasi terbuka, maka polemik yang terjadi justru bisa melahirkan perbaikan. Dalam kondisi ini, konflik bukan ancaman, melainkan energi korektif yang mendorong demokrasi tumbuh dewasa.
Namun realitasnya, tidak semua polemik berakhir dalam kerangka perbaikan. Tidak jarang, hubungan antara LSM dan pemerintah justru berubah menjadi adu gengsi, saling sindir di media, bahkan saling melapor ke penegak hukum. Alih-alih menyelesaikan substansi masalah, yang muncul adalah perang narasi, saling klaim kebenaran, dan pencitraan sepihak.
Ketika konflik hanya berputar di media dan ruang publik tanpa diikuti upaya dialog yang sungguh-sungguh, maka rakyat pun hanya jadi penonton. Mereka menyaksikan dua kekuatan sipil saling tarik urat, tapi tak kunjung melihat perubahan konkret di lapangan. Aspirasi masyarakat tidak terjawab, justru tertutupi oleh hiruk pikuk drama kelembagaan.
Dalam situasi seperti ini, kita perlu mengingatkan kembali bahwa tujuan dari kritik bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangun. Dan tujuan dari kepemimpinan bukan untuk mempertahankan ego, tetapi untuk melayani dengan hati terbuka. Pemerintah harus siap mendengar, bukan membungkam. LSM pun harus bersikap obyektif, bukan reaktif. Kritik yang tidak berbasis data hanya akan menjadi bising. Reaksi pemerintah yang antikritik hanya akan menambah jarak antara rakyat dan penguasa.
Perlu ada kemauan bersama untuk kembali kepada niat awal: memperjuangkan kepentingan masyarakat. Jika setiap kritik ditanggapi dengan penjelasan transparan, dan setiap perbedaan pandangan disikapi dengan musyawarah, maka polemik bisa menjadi awal dari kemajuan. Tapi jika masing-masing pihak lebih sibuk menjaga citra daripada membuka ruang diskusi, maka demokrasi hanya akan jadi panggung, bukan jalan menuju perubahan.
Demokrasi bukan tentang siapa yang paling nyaring bersuara, melainkan siapa yang paling siap mendengar dan memperbaiki. Maka daripada terus larut dalam drama saling serang, mari jadikan perbedaan pendapat sebagai kesempatan untuk bersinergi. Pemerintah dan LSM bisa saja berbeda cara pandang, tapi semestinya satu dalam tujuan: menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan keberpihakan kepada rakyat.
Rakyat butuh solusi, bukan tontonan. Butuh pemimpin yang mau diajak bicara, dan pengkritik yang tetap beretika. Jika kedua elemen ini saling percaya dan menghormati peran masing-masing, maka polemik bukan lagi masalah melainkan jembatan menuju perubahan.