Oleh : Azis Chemoth | Biro : Situbondo
Saromben.com
Transformasi Burnik dari lokalisasi prostitusi menjadi pusat kuliner dan UMKM adalah langkah berani yang patut diapresiasi. Ini bukan hanya soal mengubah tempat, tapi soal mengubah wajah, nilai, dan harapan. Namun, apakah perubahan fisik itu cukup untuk mengubah nasib ekonomi warga?
Realitas di lapangan menunjukkan dinamika yang tidak sederhana. Harapan bahwa Burnik akan menjadi magnet baru bagi pembeli dan wisatawan lokal belum sepenuhnya terwujud. Beberapa lapak tampak sepi, para penjual lebih banyak menunggu daripada melayani, dan suasana ‘ramai’ yang dijanjikan belum benar-benar terasa.
Yang menjadi catatan adalah, perubahan struktur harus diiringi perubahan kultur. Dulu Burnik ‘laris’ karena menawarkan sesuatu yang penuh daya tarik bagi kalangan tertentu, meskipun di luar norma. Sekarang Burnik ‘halal’, tetapi apakah cukup menarik untuk dikunjungi?
Perubahan wajah Burnik seharusnya juga disertai dengan strategi komunikasi yang cerdas, promosi yang konsisten, serta dukungan kebijakan dari pemerintah. Menata lampu-lampu dan stan saja tidak cukup. Perlu ada cerita baru yang dibangun—bahwa Burnik kini bukan tempat mencari maksiat, tapi tempat mencari cita rasa, kerja keras, dan semangat bertumbuh.
Burnik adalah eksperimen sosial yang menarik. Ia bisa jadi contoh sukses rekonstruksi sosial jika benar-benar dikelola serius. Tapi jika tidak, Burnik hanya akan berganti nama tanpa makna.
Masyarakat boleh berharap, tapi pemangku kepentingan harus bertindak. Burnik tak bisa hidup hanya dari ingatan masa lalu—ia harus dibangun dengan visi yang jelas agar tak kembali tenggelam dalam kenangan kelam.