Opini  

Ketika Pemimpin Belum Memegang Kebijakan: Negeri Ini Jalan di Tempat

Redaksi

Oleh: Azis Chemoth | Saromben.com

Situbondo, 26 Juli 2025
Pemimpin boleh saja berganti, wajah boleh baru, semangat boleh menggebu. Tapi selama sang pemimpin belum benar-benar memegang kendali atas kebijakan, maka roda pemerintahan hanya berputar di tempat yang sama bising, tapi tak bergerak.

Banyak pemimpin datang dengan segudang janji, tapi tak sedikit yang akhirnya terjebak dalam euforia jabatan, bukan kerja nyata. Ketika mereka belum memegang kendali penuh atas kebijakan, maka yang bekerja bukanlah kehendak rakyat, melainkan rutinitas birokrasi yang kerap kehilangan arah.

Kekuasaan Tanpa Keputusan

Kepemimpinan bukan sekadar soal hadir di podium atau menyapa rakyat dengan senyum. Ia tentang keberanian membuat keputusan, mengambil risiko, dan menyusun arah baru bagi masa depan. Namun ketika pemimpin masih sibuk menyesuaikan diri, menunggu restu, atau terlalu berhati-hati agar tidak salah langkah, maka kebijakan pun menjadi hantu tak kasatmata disebut-sebut, tapi tak pernah terlihat wujudnya.

Yang muncul kemudian adalah kekuasaan tanpa keputusan. Rapat digelar, notulen disusun, tapi masyarakat tetap menghadapi masalah yang sama: jalan rusak, harga naik, layanan lambat, dan ketidakjelasan masa depan.

Rakyat Butuh Kepastian, Bukan Basa-Basi

Dalam dunia nyata, rakyat tak hidup dari pidato. Mereka hidup dari harga sembako yang terjangkau, pelayanan yang cepat, akses pendidikan dan kesehatan yang layak. Semua itu butuh kebijakan yang berpihak dan tindakan yang nyata. Bukan wacana, bukan pencitraan.

Ketika pemimpin belum memegang kebijakan, maka rakyat seperti penumpang dalam kapal besar yang kehilangan nakhoda. Mereka tetap bergerak, tapi tak tahu ke mana akan tiba.

Saatnya Memegang Kendali

Pemimpin sejati tak menunggu semuanya aman untuk bertindak. Ia justru hadir di tengah ketidakpastian, mengambil sikap, dan memberi arah. Kepemimpinan bukan tentang popularitas, tapi tentang keberanian untuk memegang kendali atas arah dan kebijakan.

Baca Juga:
Burnik Situbondo: Dari Lokalisasi ke Wisata Kuliner, Tapi Sampai Kapan?

Jika tidak, maka yang memimpin bukanlah pemimpin itu sendiri melainkan keadaan, tekanan politik, atau bahkan kepentingan yang tak kasatmata.

Dan ketika itu terjadi, rakyat kembali menjadi penonton dalam panggung kekuasaan yang tak pernah selesai menampilkan drama.