Oleh : Romi Anasrullah|Saromben.com
Di tengah gempuran arus teknologi dan perubahan sosial, guru seharusnya menjadi benteng terakhir dalam membentuk karakter generasi bangsa. Namun ironisnya, hari ini banyak guru justru terbelenggu rasa takut. Bukan takut pada murid, melainkan pada hukum yang sering kali dipahami dan diterapkan secara kaku.
Kasus-kasus guru dilaporkan karena menegur keras, mendisiplinkan, bahkan hanya karena “menyentil” murid yang lalai, telah menimbulkan trauma kolektif di kalangan pendidik. Padahal, proses pendidikan sejati tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi juga menanamkan disiplin, etika, dan nilai moral. Jika setiap teguran berpotensi dilaporkan sebagai pelanggaran hukum, maka bagaimana mungkin guru berani mendidik dengan penuh wibawa?
Hukum seharusnya melindungi, bukan melumpuhkan. Sayangnya, hukum pendidikan kita masih sering digunakan sebagai senjata orang tua untuk menekan guru. Akibatnya, banyak siswa tumbuh tanpa kontrol moral yang memadai, merasa serba boleh, dan kehilangan rasa hormat pada pendidiknya.
Kondisi ini ibarat pisau bermata dua: guru dibatasi, siswa bebas semaunya. Padahal, bangsa ini sedang krisis keteladanan. Jika guru kehilangan otoritas moral karena dibayang-bayangi kriminalisasi, maka yang lahir adalah generasi pintar secara akademik, tetapi rapuh karakter.
Solusinya, diperlukan keseimbangan antara perlindungan hukum bagi siswa dan penghormatan terhadap otoritas guru. Regulasi pendidikan harus menegaskan batas yang jelas: mana disiplin yang mendidik, dan mana kekerasan yang merugikan. Orang tua pun perlu kembali menaruh kepercayaan pada guru, karena sejatinya mendidik anak adalah tanggung jawab bersama.
Jika guru terus dibiarkan terpenjara ketakutan, maka masa depan bangsa ini bukan hanya kehilangan pendidik, tetapi juga kehilangan karakter generasi penerusnya.