Festival Lajengan Lomok 2025: Langit Kendit Situbondo Kembali Berwarna, Tradisi Madura yang Tak Lekang Zaman
Langit sore di Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo, berubah menjadi lautan warna. Ratusan lajengan~sebutan untuk layangan dalam bahasa Madura~menari anggun di udara, menghidupkan kembali semangat tradisi lama yang telah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat. Festival Lajengan Lomok 2025 bukan sekadar ajang lomba layangan, melainkan perayaan atas warisan budaya yang terus dijaga lintas generasi.
Mengangkat Tradisi, Menjaga Warisan Leluhur
Festival ini berlangsung di Lapangan Desa Kendit mulai 18 Oktober hingga 16 November 2025. Diselenggarakan oleh Forkopimcam Kendit, acara tersebut mengusung tema “Mengangkat Tradisi” sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya lokal. Momentum ini juga bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan HUT TNI ke-80, menjadikannya simbol kolaborasi antara budaya dan semangat nasionalisme.
Camat Kendit, Faishol Afandi, menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk pelestarian nilai-nilai kebersamaan yang melekat dalam budaya masyarakat Kendit sejak puluhan tahun lalu.
“Lajengan Lomok adalah kebanggaan warga Kendit. Tradisi ini sudah ada sejak 1950-an dan masih lestari hingga kini. Lewat festival ini, kami ingin memastikan bahwa budaya ini terus hidup di tengah generasi muda,” ujar Faishol.
Lajengan Lomok, Layangan Tenong Khas Situbondo
Menurut penuturan Faishol, Lajengan Lomok atau dikenal juga sebagai Layangan Tenong merupakan jenis layangan tradisional khas Situbondo yang populer di wilayah Kendit, Panarukan, hingga Mangaran.
Dulunya, kegiatan membuat layangan menjadi aktivitas sosial yang menyatukan masyarakat.
“Dulu, proses membuat layangan dilakukan bersama-sama. Ada nilai gotong royong dan kebersamaan yang sangat kuat di dalamnya,” tambahnya.
Tak heran, banyak warga tua yang meneteskan air mata haru saat melihat kembali tradisi ini hidup dan disambut antusias oleh generasi muda.
Keunikan Penilaian: Batok Kelapa Sebagai Pengukur Waktu
Salah satu keunikan yang membuat festival ini menarik perhatian media dan wisatawan adalah cara panitia mengukur waktu perlombaan.
Alih-alih menggunakan stopwatch modern, panitia menggunakan batok kelapa berlubang yang diletakkan di atas air. Ketika batok itu tenggelam, artinya waktu sudah berjalan 1 menit 45 detik.
Tradisi sederhana ini tidak hanya simbolis, tetapi juga sarat makna filosofis tentang kesabaran, ketepatan, dan harmoni dengan alam.
“Ini tradisi lama yang tetap kami pertahankan. Sederhana, tapi punya nilai historis dan kearifan lokal yang khas,” ujar Faishol sambil tersenyum.
Seni dan Tantangan di Langit Kendit
Dalam festival ini, setiap layangan dinilai dari keindahan bentuk, kekuatan rangka, stabilitas di udara, serta teknik pemain dalam menjaga lajengan agar tetap tegak meski diterpa angin. Para peserta berasal dari berbagai desa di Situbondo, bahkan beberapa dari Bondowoso dan Probolinggo turut bergabung.
“Butuh kesabaran dan teknik tinggi untuk menjaga lajengan tetap stabil. Itulah seni dan tantangan utamanya,” tutur Ahmad, peserta asal Desa Kertosari.
Suara gemerincing benang, tawa anak-anak, dan sorakan penonton menciptakan suasana nostalgia yang sulit dilupakan.
Festival ini menjadi bukti bahwa kebahagiaan bisa lahir dari hal-hal sederhana yang diwariskan turun-temurun.
Hadiah dan Apresiasi Bagi Pelestari Budaya
Untuk memacu semangat peserta, panitia menyediakan hadiah menarik:
Juara 1: Sepeda listrik
Juara 2: Mesin cuci
Juara 3: Kipas angin
Selain itu, setiap peserta mendapat piagam penghargaan dari Forkopimcam Kendit sebagai bentuk apresiasi atas partisipasi mereka.
“Hadiah ini bukan soal nilai, tapi penghargaan bagi warga yang kreatif dan menjaga warisan leluhur,” jelas Faishol.
Dampak Sosial dan Ekonomi Bagi Warga
Festival Lajengan Lomok tidak hanya menghidupkan budaya, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi lokal. Pedagang jajanan tradisional, penjual mainan anak, hingga pengrajin bambu mengalami peningkatan pendapatan signifikan selama festival berlangsung.
Warung kopi di sekitar lapangan Kendit ramai setiap sore. Wisatawan lokal dan luar daerah berdatangan, menciptakan peluang ekonomi bagi UMKM setempat.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa pelestarian budaya bisa bersinergi dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Lajengan Sebagai Simbol Filosofi Hidup Orang Madura
Bagi masyarakat Madura, layangan bukan hanya permainan, melainkan simbol keseimbangan hidup. Benang yang menahan lajengan di udara menggambarkan hubungan manusia dengan takdir: bebas namun tetap terikat oleh nilai dan moral.
Filosofi inilah yang menjadikan Lajengan Lomok lebih dari sekadar atraksi budaya.
Ia adalah manifestasi spiritual tentang kesabaran, kerja keras, dan kebersamaan.
“Kalau benang terputus, layangan hilang arah. Begitu juga manusia, kalau lepas dari nilai, hidupnya kehilangan makna,” ujar salah satu tokoh adat Kendit.
Warna-Warni di Langit dan Cerita di Balik Senyum Anak-anak
Setiap sore, anak-anak berlari di lapangan membawa lajengan buatan sendiri. Mereka belajar mengukur arah angin, menyeimbangkan rangka, dan mengikat benang dengan hati-hati.
Keceriaan mereka menjadi pemandangan yang menyentuh banyak hati.
Festival ini tidak hanya merayakan tradisi, tetapi juga menghubungkan generasi masa kini dengan akar budayanya.
“Anak saya sekarang bisa bikin layangan sendiri. Saya bangga karena dia tahu ini bagian dari budaya Kendit,” kata seorang warga, Suyadi (47).
Tradisi yang Akan Terus Diterbangkan
Rencana Forkopimcam Kendit adalah menjadikan Festival Lajengan Lomok sebagai agenda tahunan wisata budaya Situbondo. Pemerintah daerah dan Dinas Pariwisata Situbondo juga memberi dukungan agar tradisi ini masuk dalam kalender resmi kegiatan wisata Jawa Timur.
Langkah ini penting untuk memperkuat branding budaya Situbondo sebagai daerah yang kaya nilai tradisi dan kearifan lokal Madura.
Edukasi dan Warisan untuk Generasi Muda
Selain lomba, festival ini juga diisi dengan workshop pembuatan layangan tradisional untuk anak sekolah dasar dan remaja.
Mereka belajar langsung dari pengrajin senior tentang cara memilih bambu, merangkai kertas minyak, hingga menyeimbangkan ekor lajengan.
Dengan begitu, pengetahuan tradisional ini tidak berhenti di satu generasi saja, tetapi terus dilestarikan dan dikembangkan.
Langit Kendit, Cermin Jiwa yang Menjaga Akar Budaya
Festival Lajengan Lomok 2025 bukan sekadar perayaan, tetapi pengingat bahwa budaya adalah akar dari identitas bangsa.
Dalam tiap lajengan yang terbang tinggi di langit Kendit, tersimpan doa, kerja keras, dan semangat kebersamaan masyarakat Situbondo.
Tradisi ini menjadi simbol harapan, bahwa di tengah derasnya arus modernisasi, masih ada ruang untuk kebersamaan, keindahan, dan cinta terhadap tanah kelahiran.
Baca Juga:
Festival Gandrung Sewu Banyuwangi 2025: Ribuan Penari Warnai Pantai Boom
Pesona Wisata Alam Mangaran: Menyusuri Sungai dan Kearifan Lokal Situbondo
Makna Filosofis di Balik Tradisi Madura yang Mulai Dikenal Dunia