Feodalisme Baru dalam Balutan Adab

Redaksi

Oleh: Randa Kholilur Rohim

Dalam ruang-ruang sosial hari ini, kata “adab” semakin sering hadir dalam diskursus publik. Ia dikutip dalam pidato, disematkan dalam unggahan media sosial, dan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, di balik kemuliaannya sebagai pedoman etika dan moral, muncul pertanyaan: apakah adab sedang mengalami pergeseran makna?

Adab, yang semestinya tumbuh dari kesadaran dan keikhlasan batin, kini kerap tampil sebagai alat kontrol sosial. Ia digunakan bukan untuk membimbing, melainkan untuk menundukkan. Bukan lagi menjadi jalan menuju kebijaksanaan, tapi justru menjadi tameng dari kritik dan perbedaan. Di sinilah adab berubah wujud menjadi feodalisme baru sistem hierarkis yang menuntut kepatuhan tanpa ruang dialog.

Kita menyaksikan bagaimana “adab kepada guru”, “adab kepada pemimpin”, atau “adab kepada ulama” menjadi dalih untuk membungkam pertanyaan kritis. Yang muda dilarang mengoreksi yang tua, yang bawah tak boleh mengusik yang di atas. Seolah adab adalah tiket sakral yang tak boleh disentuh oleh logika atau argumentasi. Padahal, adab sejati tidak anti-kritik. Ia justru mengajarkan cara menyampaikan kebenaran dengan kasih dan hormat.

Feodalisme lama dibungkus oleh status darah biru dan keturunan, sedangkan feodalisme baru menjelma dalam simbol-simbol keagungan moral. Bedanya, kali ini yang didewakan bukan hanya jabatan, tapi juga narasi kesucian. Mereka yang merasa lebih suci, lebih alim, atau lebih berilmu, merasa pantas untuk ditaati tanpa syarat.

Dalam konteks ini, adab bukan lagi jalan menuju kemuliaan bersama, melainkan alat reproduksi kekuasaan. Ia menjadi pagar-pagar yang menjaga kenyamanan elit, bukan jembatan menuju keadilan. Maka, jika kita ingin membebaskan masyarakat dari feodalisme gaya baru ini, kita perlu merebut kembali makna adab yang sejati adab yang merendah untuk memahami, bukan mengatur untuk ditinggikan.

Baca Juga:
Amplop Kiai dan Pajak: Antara Aturan dan Rasa

 

Penulis: Randa Kholilur RohimEditor: Romi