Opini  

Burnik Situbondo: Dari Lokalisasi ke Wisata Kuliner, Tapi Sampai Kapan?

Redaksi

Oleh: Romi Anasrullah|Editor : Azis Chemoth

Transformasi kawasan Burnik di Situbondo dari yang dahulu dikenal sebagai tempat lokalisasi, menjadi sentra wisata kuliner yang ramai dan viral di media sosial, merupakan langkah sosial-kultural yang layak diapresiasi. Dari ruang terpinggirkan, Burnik menjelma menjadi pusat ekonomi kreatif rakyat, yang menggeliat melalui keberadaan UMKM, lapak makanan kaki lima, hingga tempat nongkrong alternatif di malam hari.

Namun pertanyaannya kini: apakah popularitas ini bisa bertahan? Apakah Burnik akan terus tumbuh menjadi ikon ekonomi baru Situbondo, atau hanya menjadi tren sesaat yang redup seiring dengan menurunnya atensi publik?

Fenomena “Burnik naik kelas” telah menciptakan gelombang antusiasme warga. Media sosial dipenuhi unggahan tentang perubahan wajah Burnik, dan ratusan pengunjung datang setiap malam. Ini tentu membawa dampak ekonomi langsung bagi pelaku UMKM. Tapi di lapangan, tak semua merasakan berkah yang merata. Beberapa pedagang mengeluh soal biaya operasional yang tinggi, pendapatan yang tak menentu, hingga tantangan bersaing di tengah euforia yang belum tentu stabil.

Inilah yang semestinya menjadi perhatian serius pemerintah daerah, khususnya dinas pariwisata dan pengelola kawasan. Keberhasilan memviralkan Burnik harus dibarengi dengan perencanaan matang dan strategi jangka panjang. Tanpa infrastruktur yang memadai, pelatihan bagi pelaku UMKM, serta promosi yang berkelanjutan, kawasan ini bisa kembali sepi setelah tren media sosial bergeser.

Burnik hari ini memang menjadi simbol perubahan, tapi perubahan sejati tak cukup dengan lampu hias dan keramaian temporer. Diperlukan narasi besar yang mengikat identitas kawasan ini—sebagai ruang ekonomi baru, tempat tumbuhnya semangat wirausaha, dan bukti bahwa stigma masa lalu bisa ditebus dengan perencanaan masa depan.

Karena pada akhirnya, Burnik bukan sekadar tempat yang berganti fungsi. Ia adalah cermin bagaimana sebuah kota membaca potensinya sendiri. Jika tak dikelola serius, kita hanya akan punya kenangan singkat tentang sebuah tempat yang pernah viral—tapi gagal bertahan.

Baca Juga:
Ketika Pemimpin Belum Memegang Kebijakan: Negeri Ini Jalan di Tempat