Oleh: Azis Chemoth
Militan PPP | Saromben.com
Pemilihan Bupati Situbondo telah selesai. Hiruk pikuk kampanye, adu strategi, bahkan gesekan antarpendukung kini tinggal kenangan yang tak bisa dihapus begitu saja. Namun inilah momen yang menentukan: apakah kita akan terus tenggelam dalam sisa-sisa perpecahan, atau justru bangkit kembali dalam barisan utuh?
PPP sebagai partai yang lahir dari rahim umat Islam tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari sekadar urusan kekuasaan. Kita mengusung lambang Ka’bah yang bukan hanya simbol religius, tetapi juga penanda arah: tempat kembali bagi seluruh umat Islam.
Maka setelah gelombang politik memecah kita, kini saatnya kita pulang. Pulang ke jalan perjuangan. Pulang ke rumah besar umat: Partai Persatuan Pembangunan.
Luka Pilkada dan Realitas Perpecahan
Kita tidak menutup mata bahwa dalam proses Pilkada kemarin terjadi ketegangan di tubuh PPP sendiri. Ada yang mendukung A, ada yang diam-diam condong ke B. Beberapa kader bahkan terang-terangan pasang badan untuk calon yang tidak mendapat restu dari mayoritas internal partai.
Apakah itu salah? Tidak sepenuhnya. Dalam politik, perbedaan strategi adalah keniscayaan. Yang menjadi persoalan adalah ketika perbedaan itu menjelma menjadi permusuhan, bahkan menggerus rasa saling percaya di antara kita. Ketika sesama kader saling tuding, saling blokir, bahkan saling lapor di situlah kita kehilangan arah.
Tapi belum terlambat. Perbedaan bukanlah dosa. Yang dosa adalah terus bertahan dalam perpecahan dan menjadikannya warisan untuk generasi selanjutnya. Maka saya menyerukan dengan segenap jiwa: PPP harus bersatu kembali.
Ka’bah Adalah Lambang Kembali
Kita ini rumahnya umat. Jangan sampai rumah ini kosong hanya karena penghuninya sibuk bertengkar. Jangan sampai umat muak hanya karena kita tidak mampu memberi teladan.
Ka’bah adalah titik nol umat Islam di seluruh dunia. Apa pun mazhabnya, apa pun kecenderungan politiknya, semua kembali ke arah yang satu: Ka’bah. Maka mari kita terjemahkan filosofi itu dalam gerak politik kita.
Saya tidak sedang bicara tentang siapa yang menang atau kalah di Pilkada. Saya sedang bicara tentang marwah partai. Tentang masa depan perjuangan kita yang tidak boleh dikorbankan hanya karena ego sesaat.
Jika kader PPP terus terpecah, maka rakyat akan melihat kita lemah. Dan jika rakyat kehilangan kepercayaan, untuk apa lagi kita berjuang?
Konsolidasi dan Pembersihan Luka
Sudah waktunya DPC, PAC, hingga kader akar rumput saling membuka diri. Mari kita mulai dari mengakui bahwa luka itu memang ada. Bahwa sempat terjadi gesekan. Bahwa ada kekeliruan dalam sikap dan langkah. Setelah itu, mari saling memaafkan, lalu saling menggenggam kembali.
Saya juga mengusulkan agar PPP Situbondo segera menggelar ijtima’ kader pertemuan besar untuk menjahit kembali sobekan-sobekan yang sempat menganga. Di forum itulah kita bisa bicara dari hati ke hati. Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk menyusun kembali kekuatan.
PPP Situbondo punya sejarah panjang. Kita bukan partai karbitan. Maka jangan sampai sejarah itu ternoda hanya karena kita kalah konsolidasi. Justru di saat badai datang, kita tunjukkan bahwa kapal besar ini mampu berlayar lagi lebih kokoh, lebih bijak.
Menatap 2029 dan Tantangan Baru
Jangan lupa, 2029 tinggal empat tahun lagi. Pemilu dan Pilkada serentak akan menjadi pertarungan yang lebih besar. Jika kita tidak mempersiapkan barisan dari sekarang, maka bukan tidak mungkin PPP hanya akan menjadi penonton di kampung sendiri.
Kita harus rebut kembali simpati umat. Kita harus hadir dalam kehidupan rakyat, bukan sekadar saat kampanye, tapi dalam keseharian mereka. Jadikan PPP bukan hanya sebagai partai, tapi sebagai gerakan sosial-politik yang membela wong cilik, santri, petani, dan semua yang terpinggirkan.
Akhir Kata: Bangkit dan Bersatu
PPP tidak pernah mati. Tapi kita bisa menjadi tidak relevan jika terus terpecah. Maka pilihan ada di tangan kita: mau bersatu, atau terus menghabiskan energi untuk saling menyalahkan?
Saya, Azis Chemoth, sebagai militan PPP, tidak akan diam melihat perpecahan ini dibiarkan menjadi racun. Saya menyerukan, dan akan terus menyerukan:
“Wahai kader dan simpatisan PPP, bersatulah kembali di bawah naungan Ka’bah. Satukan hati, teguhkan tekad, dan mari berjuang untuk umat bukan untuk ego pribadi.”
Saatnya kita kembali. Saatnya kita bangkit.
Demi PPP. Demi Situbondo. Demi Indonesia.