Amplop Kiai dan Pajak: Antara Aturan dan Rasa

Redaksi

Situbondo|Saromben.com

Di kawasan Burnik ,Dawuhan,tanpa sengaja penulis berjumpa dengan Ustaz Sabik Tanjung Glugur kecamatan mangaran yang saat ini menjadi warga Dawuhan. Dalam obrolan santai yang awalnya ringan, tiba-tiba muncul pertanyaan yang menggelitik: “Bagaimana kalau amplop kiai juga kena pajak?”(11/8/2025)

Pertanyaan sederhana itu membuka topik diskusi yang cukup serius. Di Indonesia, hampir semua bentuk penghasilan kini menjadi objek pajak. Mulai dari gaji pegawai, honor seniman, hingga hadiah lomba semuanya diatur dan dikenakan potongan sesuai ketentuan.

Namun, “amplop kiai” punya makna berbeda. Ia bukan sekadar uang, melainkan wujud terima kasih dari jamaah, sering kali disertai niat sedekah. Tidak ada kontrak, tidak ada kuitansi hanya tangan yang memberi dan hati yang menerima.

Di sisi lain, aturan perpajakan memandang semua penghasilan yang bersifat imbalan jasa sebagai objek pajak. Inilah yang memunculkan dilema: apakah negara berhak memungut pajak dari pemberian yang sering nilainya tidak seberapa? Ataukah sebaiknya ada pengecualian demi menjaga nilai luhur tradisi tersebut?

Jika setiap amplop untuk kiai dianggap pendapatan yang harus dilaporkan, khawatirnya tradisi memberi kehilangan kehangatan dan keikhlasannya. Namun, jika sepenuhnya dikecualikan, ada potensi ketidakadilan bagi profesi lain yang terikat kewajiban pajak.

Persoalan ini bukan sekadar angka dalam laporan keuangan negara, tetapi juga persoalan rasa. Negara diharapkan bijak memisahkan mana yang murni pemberian sukarela berlandaskan budaya dan keikhlasan umat, dan mana yang masuk kategori jasa profesional.

Sebab, pajak memang wajib, tetapi menjaga tradisi dan rasa hormat kepada ulama juga tak kalah penting.

Baca Juga:
Lapas Banyuwangi Gelar Donor Darah dan Cek Kesehatan Gratis Sambut HUT ke-80 RI
Penulis: Azis Chemoth