Gelombang politik hijau kini berbaur dengan ombak Ancol. Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP Situbondo resmi angkat suara bukan untuk menyerang, tapi untuk menertawakan absurditas politik yang kian hari makin sulit dibedakan antara serius dan sandiwara.
Dalam nada satire yang tajam tapi santai, DPC PPP Situbondo menolak Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum yang menetapkan Muhammad Mardiono sebagai Ketua Umum DPP PPP hasil Muktamar ke-10 di Ancol, Jakarta, pada 27–29 September 2025.
Sekretaris DPC PPP Situbondo, Arifin, M.H., dengan nada reflektif namun menohok, menyebut muktamar tersebut “lebih mirip healing politik ketimbang musyawarah mufakat.”
Satu kalimat sederhana yang langsung menyebar cepat di grup WhatsApp kader, memantik tawa sekaligus renungan: apakah politik masih tentang perjuangan, atau sekadar soal siapa yang dapat kamar hotel terbaik di Ancol?
“Kalau musyawarah dilakukan di pinggir pantai sambil bakar jagung, itu bukan demokrasi, itu liburan politik,” ujar Arifin dengan senyum kecil, senyum yang biasanya muncul sebelum badai argumen panjang.
Dari Ka’bah ke Pantai: Pergeseran Ruh atau Sekadar Salah Lokasi?
Menurut Arifin, DPC PPP Situbondo menilai proses Muktamar ke-10 telah kehilangan ruh musyawarah dan nilai keikhlasan yang dulu menjadi fondasi partai berlambang Ka’bah.
PPP, katanya, semestinya menjadi rumah kebersamaan, bukan arena lomba cepat-cepatan naik podium.
“PPP lahir dari semangat keikhlasan, bukan dari gemerlap lampu panggung politik. Kalau musyawarah berubah jadi kontes legitimasi, maka kita perlu bertanya: Ka’bah-nya masih di hati, atau sudah di pantai?” ujarnya sambil menatap serius ke kamera wartawan lokal.
Pernyataan itu sontak membuat beberapa kader yang hadir mengangguk ~ sebagian karena sepakat, sebagian lagi karena masih bingung bagaimana cara menolak dengan sopan tanpa kehilangan tunjangan moral.
Deklarasi Situbondo: Politik Serius dengan Tawa Sehat
Di tengah tensi politik yang makin tinggi, DPC PPP Situbondo tampil dengan gaya berbeda. Tidak marah, tidak teriak, hanya tertawa secukupnya sambil tetap menyampaikan sikap tegas.
Mereka mendeklarasikan penolakan terhadap SK Menkum dan sekaligus menyatakan dukungan penuh kepada Agus Suparmanto, figur yang dinilai mampu memimpin PPP dengan kepala dingin dan hati bersih.
“Kami percaya PPP harus dipimpin oleh figur yang mengayomi, bukan yang memecah belah. Pak Agus punya rekam jejak yang menyejukkan, bukan memanas-manasi,” jelas Arifin, M.H., disambut tepuk tangan kecil yang terdengar seperti standing applause versi Situbondo.
Menurutnya, pilihan mendukung Agus Suparmanto bukan semata soal figur, melainkan bentuk perlawanan terhadap cara berpolitik yang kehilangan makna.
“Politik boleh keras, tapi tidak harus kasar. Boleh berdebat, tapi jangan berkhianat,” tambahnya.
Satire, Bukan Cemoohan
Apa yang dilakukan DPC PPP Situbondo bukan sekadar bentuk protes, tetapi juga sindiran bernilai edukasi politik. Mereka memilih jalur satire ~ karena dalam dunia yang terlalu tegang, sedikit humor bisa lebih menyembuhkan daripada seribu retorika.
Gaya ini jarang ditemui dalam politik lokal yang biasanya diwarnai jargon berat dan bahasa kaku.
“Kalau semua bicara dengan emosi, siapa yang akan mengingatkan dengan logika?” ungkap Arifin.
Ia menyebut satire sebagai cara menyampaikan kebenaran tanpa kehilangan senyum, sebagaimana pesan dakwah klasik: tabligh dengan hikmah.
Imbauan untuk Kader: Jangan Hanyut di Laut Ancol
Dalam penutup deklarasinya, DPC PPP Situbondo menyerukan agar seluruh kader di daerah tetap solid dan tidak mudah terbawa arus.
Mereka menegaskan bahwa perjuangan akan ditempuh melalui jalur konstitusional, bukan jalur emosional.
“Kami bukan oposisi, kami oposisi yang berpikir,” tegas Arifin.
“Kami akan menempuh jalur hukum jika diperlukan, karena menjaga marwah partai itu ibadah juga.”
Kalimat itu disambut tawa, tapi juga tepuk tangan tulus. Sebab di tengah situasi politik yang makin rumit, masih ada yang mengingat bahwa politik sejati adalah tentang cara, bukan sekadar hasil.
Gelombang Penolakan yang Menyebar
Sikap DPC PPP Situbondo bukan yang pertama. Beberapa DPC lain di Jawa Timur dan Jawa Barat dikabarkan juga menunjukkan penolakan serupa terhadap hasil Muktamar ke-10 di Ancol.
Gelombang penolakan ini memperlihatkan bahwa persoalan kepemimpinan PPP masih jauh dari kata tuntas ~ bahkan mungkin baru saja dimulai.
Namun dari Situbondo, pesan yang lahir berbeda: perlawanan tidak harus kasar, cukup dengan kata-kata yang cerdas dan menohok.
Sebab dalam dunia politik yang penuh sandiwara, sedikit kejujuran dan satire bisa jadi senjata paling ampuh.
PPP, Humor, dan Harapan
Di akhir pertemuan, Arifin menutup dengan kalimat yang sederhana namun filosofis.
“Politik itu seperti kopi. Kalau terlalu manis, bikin eneg. Kalau terlalu pahit, bikin lupa senyum. Jadi, minumlah secukupnya dan tetap sadar.”
Deklarasi pun ditutup dengan doa bersama dan senyum ringan ~ bukan kemenangan, tapi kelegaan.
Situbondo sekali lagi membuktikan, bahwa dari daerah kecil pun bisa lahir suara besar, selama disampaikan dengan keikhlasan dan sedikit tawa.
Catatan Penulis:
Dalam politik, kadang yang serius justru harus ditertawakan agar tidak menjadi penyakit.
Dan ketika Ka’bah dibicarakan di pantai, kita semua tahu: satire sedang bekerja untuk mengingatkan bahwa arah kiblat politik jangan sampai bergeser.