Berita  

Kasdagate Situbondo: Luka Uang Rakyat dan Bangkitnya Suara Nurani

Redaksi

Di Situbondo, sebuah kabupaten yang dikenal religius dan tenang di tapal kuda Jawa Timur, tahun 2007 menjadi saksi sejarah ketika nurani rakyat menolak diam. Di tengah hiruk-pikuk politik lokal, muncul satu kata yang mengguncang: Kasdagate ~ sebuah skandal yang menguak dugaan penyalahgunaan dana kas daerah miliaran rupiah.

Kasus ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ia menyentuh akar kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat, justru diduga mengalir ke kantong-kantong kekuasaan. Bagi warga Situbondo, ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap keadilan sosial.

Lahirnya AMPUN: Suara Bersama dari Akar Rakyat

Kemarahan rakyat tidak dibiarkan membara tanpa arah. Dari kampung ke kampung, dari pesantren ke pasar, suara kekecewaan berubah menjadi gerakan yang terorganisir. Lahir lah AMPUN (Aliansi Masyarakat Peduli Uang Negara) ~ wadah moral dan sosial yang mempersatukan berbagai elemen masyarakat.

Pencetus nama AMPUN adalah Arifin, M.H., seorang tokoh muda yang kini menjabat sebagai Sekretaris DPC PPP Situbondo. Nama itu lahir dari refleksi batin yang dalam: kata “ampun” bukan tanda kelemahan, melainkan doa dan peringatan agar bangsa tidak terus mengulangi dosa yang sama ~ korupsi dan pengkhianatan terhadap rakyat.

Gelombang Aksi: Menutup Gerbang Kekuasaan

Pada hari itu, ribuan massa berkumpul di depan Kantor Pemerintah Kabupaten Situbondo. Suara orasi menggetarkan udara, spanduk membentang di antara terik matahari. “Usut tuntas Kasdagate! Jangan biarkan hukum dipermainkan!”

Di tengah barisan, tampak Haji Lukman Hakim dari Poka’an memimpin massa dari atas mobil komando. Di sisi lain, muncul sosok muda bernama Azis Chemoth dari Tanjung Sari Timur, yang berani mengambil langkah simbolik: menutup seluruh gerbang Pemkab dengan rantai dan gembok.
Bukan tindakan anarkis ~ melainkan pesan keras bahwa pintu kekuasaan yang menutup mata terhadap kebenaran, harus dikunci oleh rakyatnya sendiri.

Baca Juga:
RRI Fest 2025 Jember Meriah, Angkat Kearifan Lokal dan Isu Lingkungan

Ketegangan dan Kebijaksanaan

Ketika ketegangan mencapai puncak, suasana bisa saja berubah kacau. Namun, di tengah gelombang emosi itu, muncul figur yang menenangkan: Mashudi, alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Bersama Azis Chemoth, ia mengajak massa untuk tetap damai dan rasional.

Keduanya mengawal rombongan tamu dari DPD yang terjebak di dalam gedung pemerintahan. Dengan kesepakatan bersama, Satpol PP membuka rantai di gerbang belakang sisi barat. Satu per satu kendaraan diperiksa, bahkan diminta menurunkan kaca jendela untuk memastikan Bupati Ismunarso ~ yang kala itu dituding terlibat ~ tidak menyelinap di antara tamu.

Itulah momen paling tegang sekaligus paling bermartabat: rakyat menuntut keadilan tanpa menginjak hukum.

Tiga Tuntutan, Satu Tujuan

Dari mobil komando, tiga tuntutan utama digaungkan dan tercatat dalam sejarah Situbondo:

1. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur harus menahan Bupati Ismunarso.

2. DPRD Situbondo jangan bungkam, tunjukkan sikap politik dan moral.

3. Proses hukum Kasdagate harus transparan dan bebas dari intervensi politik.

Ketiga tuntutan itu adalah inti perjuangan moral ~ agar uang rakyat kembali pada rakyat, dan agar jabatan tidak lagi menjadi tameng kebohongan.

Jejak yang Tak Terhapus

Kini, hampir dua dekade berlalu, nama Kasdagate masih bergema di hati masyarakat Situbondo. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap keserakahan. Di warung kopi, di panggung orasi, bahkan di ruang-ruang diskusi mahasiswa, kisah itu masih diceritakan sebagai pelajaran penting: bahwa rakyat bisa berani, asalkan bersatu dan berpegang pada kebenaran.

Gerakan AMPUN tidak sekadar peristiwa politik ~ ia adalah gerakan nurani. Dari Situbondo, pesan moralnya menjalar ke seluruh tapal kuda:
bahwa keadilan bukan hadiah dari kekuasaan, melainkan hasil perjuangan rakyat yang menolak tunduk pada kebusukan.

Baca Juga:
Trie Mulyono: Narasumber Bukanlah Penulis, Jangan Sampai Lucu dalam Berita

Warisan Moral dari Kasdagate

Kasdagate mungkin sudah ditutup di meja hukum, tetapi luka sosialnya belum sembuh. Ia meninggalkan pesan abadi bagi generasi baru Situbondo:

“Berani jujur itu hebat, tapi berani melawan ketidakjujuran itu lebih mulia.”

Dari Arifin yang menamai gerakan dengan hati, dari Haji Lukman yang menggerakkan massa, dari Mashudi dan Azis Chemoth yang menuntun kemarahan menjadi ketenangan
lahirlah satu bab dalam sejarah Situbondo: saat rakyat kecil berdiri lebih tinggi dari tembok kekuasaan.