Pewarta: Azis Chemoth|Saromben.com
Sumenep – Polemik dugaan perzinahan yang melibatkan SNA, korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang justru dilaporkan balik oleh suaminya, SI, kini berbuntut panjang. Sorotan publik kali ini bukan lagi hanya pada substansi kasus hukum, tetapi juga pada sikap kuasa hukum SNA, Sulaisi Abdurrazaq.
Sulaisi disebut tidak menempuh mekanisme hak jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers, melainkan justru melancarkan serangan terhadap media DetikOne melalui sejumlah media dalam grupnya sendiri. Tindakan bernada keras itu dinilai sebagian pihak merugikan citra pers.
Sejumlah pemerhati menilai langkah tersebut terkesan intimidatif dan tidak profesional. Padahal, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memberikan jalur yang jelas bagi pihak yang keberatan terhadap pemberitaan, yakni melalui klarifikasi, hak jawab, atau mekanisme Dewan Pers.

“Kalau keberatan dengan isi berita, jalurnya jelas: gunakan hak jawab atau mekanisme Dewan Pers. Serangan terbuka kepada media hanya menambah kesan intimidasi,” ujar seorang pemerhati media di Sumenep.
Hingga kini, pihak DetikOne belum memberikan pernyataan resmi. Namun, isu ini diperkirakan akan terus menjadi perhatian publik karena menyangkut relasi antara advokat, klien, dan kebebasan pers yang dilindungi konstitusi.
Di sisi lain, Sulaisi Abdurrazaq membantah tudingan intimidatif tersebut. Ia menegaskan bahwa opini yang berkembang muncul sebelum dirinya diberi kesempatan menggunakan hak koreksi maupun hak jawab.

“Pihak DetikOne memang sempat menghubungi saya melalui telepon dan meminta maaf setelah berita itu terbit. Bahkan setelah saya melayangkan somasi, mereka mengakui khilaf karena menggunakan informasi keliru. Jadi, pertanyaannya intimidasi seperti apa? Justru kesan yang ditimbulkan seolah-olah saya menyudutkan pihak tertentu,” jelas Sulaisi.
Menurutnya, langkah yang ia ambil semata-mata adalah bagian dari tugas profesional sebagai penasihat hukum klien yang merasa dirugikan akibat pemberitaan tidak akurat.
“Apalagi pihak media terkait sudah mengakui kesalahan dalam penulisannya dan meminta maaf. Jadi tuduhan bahwa saya melakukan tindakan menyudutkan jelas tidak berdasar,” pungkasnya.

Landasan Hukum: Hak Jawab dalam UU Pers
Pasal 1 angka 11: Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikannya.
Pasal 5 ayat (2): Pers wajib melayani Hak Jawab.
Pasal 18 ayat (2): Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) diancam pidana denda paling banyak Rp500 juta.
Dengan demikian, mekanisme hak jawab merupakan jalur sah yang sudah diatur UU Pers. Serangan terbuka terhadap media justru berpotensi menimbulkan kesan intimidasi dan mengganggu prinsip kebebasan pers.













