Saromben.com~Dalam dunia yang serba pragmatis, kata-kata bukan lagi alat komunikasi untuk menyampaikan kebenaran, melainkan komoditas yang dijual demi kepentingan. Di banyak ruang-ruang gelap kekuasaan, kita menyaksikan bagaimana lobi proyek tak hanya berisi angka dan proposal, tetapi juga rangkaian kata manis, janji kosong, bahkan pujian yang disusun seindah puisi, namun sebening ilusi.
“Yang penting bisa ngomong,” begitu kata sebagian orang. Padahal, di balik kefasihan lidah itu, sering tersembunyi kepentingan pribadi yang mengorbankan integritas. Kata-kata dipelintir, makna dipermainkan, dan kenyataan dipoles agar terdengar meyakinkan demi satu tujuan: proyek cair, amplop berpindah tangan, dan relasi basah makin erat.
Apakah ini salah satu bentuk kecerdasan? Mungkin. Tapi yang jelas, ini adalah bentuk lain dari pengkhianatan terhadap nilai-nilai kejujuran.
Di tengah masyarakat yang mulai kritis, praktik ini tetap hidup, bahkan berkembang dengan teknik yang makin halus. Mereka yang pandai merangkai kata seolah menjadi makelar moral, menjual narasi demi membungkus niat-niat yang sebenarnya tak etis. Padahal, kata-kata seharusnya membangun, bukan memanipulasi.
Fenomena ini menjadi ironi. Saat negara membutuhkan profesionalisme dan transparansi, justru muncul kaum “penjual kata” yang menjadikan opini sebagai alat tukar, bukan sebagai bentuk tanggung jawab publik.
Sudah saatnya masyarakat melek. Kita butuh lebih banyak orang yang berbicara dengan hati, bukan dengan niat menjual. Kata-kata