Keris Sengkelat Bagi Pemiliknya: Antara Beban Gaib dan Cahaya Leluhur

Redaksi

Situbondo,Saromben.com

Bagi sebagian orang, keris hanyalah logam kuno, sekadar warisan budaya yang indah dipajang. Namun bagi Azis Chemoth, pemilik Keris Sengkelat, bilah pusaka itu adalah teman sunyi, cermin batin, bahkan kadang penuntun jalan hidupnya.

“Saya tidak memilihnya. Saya dipilih,” ujar Azis Chemoth suatu hari saat ditemui tim SAROMBEN.com. Ia duduk bersila sambil membuka keris dari warangkanya, dengan mata yang tenang tapi dalam. “Keris Sengkelat itu bukan sekadar benda. Ia bernafas. Ia melihat.”

Bagi Azis Chemoth, memiliki Keris Sengkelat berarti siap hidup dalam laku. Tidak bisa sembarangan berkata. Tidak boleh sembarangan makan. Bahkan tidak sembarangan tidur. Ia harus menjaga batin, ucapan, dan niat. Karena katanya, “Sengkelat tidak suka pemilik yang sombong atau serakah. Ia akan ‘menutup diri’ kalau pemiliknya kotor.”

Sengkelat, dengan luk 13-nya yang sakral, ibarat perjalanan batin yang tak pernah mulus. Gelombangnya melambangkan ketidakterdugaan hidup yang justru harus dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati.

Setiap malam kelahirannya, Azis Chemoth melantunkan doa-doa, membersihkan bilah keris dan memberinya wewangian. Ritual itu bukan untuk memuja, tapi sebagai bentuk penghormatan: pada Sang Pencipta, pada leluhur, dan pada keris itu sendiri

Banyak orang menyangka keris akan memberi kesaktian instan. Azis Chemoth membantah keras. “Sengkelat bukan pelindung dari musuh luar. Ia penjaga dari musuh dalam: kesombongan, kebencian, dan nafsu duniawi.”

Menurutnya, sejak ia menyatu dengan Sengkelat, banyak hal berubah. Ia lebih banyak menyendiri, lebih selektif bicara, dan lebih peka terhadap tanda-tanda semesta. Ia juga merasakan rasa waskita semacam intuisi halus yang menuntunnya dalam mengambil keputusan.

Namun itu datang dengan konsekuensi. “Saya pernah hampir celaka waktu batin saya goyah. Sengkelat memberi tanda. Bukan lewat suara, tapi lewat mimpi, perasaan tidak enak, bahkan kadang lewat sakit di tubuh,” katanya.

Baca Juga:
Al-Qur’an, Satu-Satunya yang Tak Bisa Diubah

Bagi Azis Chemoth, memiliki keris seperti Sengkelat adalah beban spiritual yang besar. Ia tidak boleh menjualnya. Tidak boleh memamerkannya sembarangan. Ia harus menjaga titipan itu seperti menjaga jiwanya sendiri.

“Keris ini adalah titipan ibu pertiwi bapak akasa. Kalau saya tidak mampu menjaga, lebih baik dikembalikan ke tanah.”

Ia percaya, setiap pemilik Sengkelat akan diuji. Ada yang diuji lewat kekuasaan, ada yang lewat kemiskinan, ada juga lewat sepi. Tapi siapa yang tahan, akan mendapat berkah yang tidak bisa dijelaskan

Keris Sengkelat bukan untuk siapa saja. Ia tidak tunduk pada uang, tidak tunduk pada gelar. Ia hanya datang pada mereka yang dipilih oleh waktu dan dibentuk oleh laku. Dan bagi Azis Chemoth, pusaka itu bukan sekadar teman lama. Ia adalah sahabat sunyi, penguji jiwa, dan pintu menuju makna yang lebih dalam dari hidup itu sendiri.

Seperti kata pepatah lama:
“Keris bukan untuk dimiliki, tapi untuk dijaga. Ia tak akan tinggal di tangan yang tak sanggup memikulnya.”

Penulis: Randa KholilurrahimEditor: Romi Ans