Oleh: Azis Chemoth|Saromben.com
Bayangkan sejenak sebuah negara tanpa wartawan. Tak ada yang meliput peristiwa, mengungkap kebijakan yang keliru, atau menyuarakan jeritan warga yang terpinggirkan. Kini bayangkan pula negara itu juga tanpa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tak ada yang mengadvokasi hak rakyat kecil, tak ada yang berani menggugat ketimpangan, tak ada yang bertahan di garis depan ketika negara lalai.
Negara seperti itu, niscaya sunyi dari suara-suara kritis. Kekuasaan berjalan tanpa cermin, kebijakan meluncur tanpa evaluasi, dan rakyat kehilangan salah satu saluran harapannya.
Padahal wartawan bukan musuh pemerintah. LSM bukan oposisi otomatis. Mereka hadir justru untuk memperkuat pilar-pilar demokrasi sebagai mitra strategis dalam memastikan negara bekerja sebagaimana mestinya. Fungsi kontrol dan partisipasi publik yang mereka mainkan bukan bentuk perlawanan, melainkan bagian dari proses saling jaga agar kekuasaan tak melenceng dari rel konstitusi.
Tentu, dalam praktiknya, tidak semua wartawan atau LSM bekerja sesuai etika. Ada yang menyalahgunakan peran, mencari sensasi, atau mengedepankan kepentingan kelompok. Namun bukan berarti fungsi mereka menjadi salah. Sama seperti tak semua pejabat bersih, tak semua aktivis suci, tetapi esensi perannya tetap penting dan tak bisa dihapuskan.
Tanpa wartawan dan LSM, siapa yang akan mengabarkan kelalaian rumah sakit yang menolak pasien miskin? Siapa yang akan mengadvokasi warga yang lahannya digusur tanpa ganti rugi? Siapa yang akan menyuarakan suara-suara terpinggirkan yang tak pernah diundang ke ruang-ruang rapat kebijakan?
Negara yang sehat justru membutuhkan kritik. Pemerintahan yang kuat adalah yang terbuka terhadap koreksi. Dan kemajuan tidak lahir dari pujian semata, tapi juga dari keberanian mendengar yang tak nyaman.
Maka, mari kita bayangkan ulang: bukan negara tanpa wartawan dan LSM, tapi negara yang belajar berjalan beriringan dengan mereka dalam semangat saling menguatkan, bukan saling menyingkirkan.